TECHMinar Kreen Indonesia “The Importance of Self-Awareness in New Normal” mengajarkan kita pentingnya sikap self-awareness yang bisa bermuara pada self-acceptance sehingga kita lebih cepat beradaptasi dalam perubahan situasi seperti era new normal.
Menurut dr. Mutiara Lirendra yang merupakan seorang dokter umum, self-awareness adalah sikap, perasaan, pikiran, perilaku terkait pemahaman diri sendiri. Hal ini mencakup memahami kekurangan, kelebihan, kapasitas, persepsi, dan kondisi yang kita miliki. Kita juga dikatakan memiliki self-awareness saat kita mampu merefleksikan diri apa pun yang terjadi.
Self-awareness ternyata menjadi komposisi penting dalam menemukan keterampilan lainnya dalam mengatasi tantangan hidup, termasuk di era new normal. Self-awareness yang ditandai oleh karakter fleksibel dan dinamis sesuai perubahan yang ada menunjukkan satu bentuk proses maturitas yang nantinya akan menelurkan kemampuan lain seperti empati, pengambilan keputusan, berpikir kreatif dan kritis, manajemen emosi dan stress, serta komunikasi dan hubungan interpersonal yang baik.
dr. Mutiara Lirendra pun menekankan pentingnya self-awareness dalam menjaga dan mengelola kesehatan. Pasien yang memiliki self-awareness akan memiliki kesadaran awal yang mempermudah dokter melakukan diagnosis yang akurat.
Aruni Ulfah, seorang psikolog klinisi menggambarkan manfaat yang kita peroleh dengan memperkuat self-awareness dalam diri. Melalui self-awareness, kita mampu memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri, lebih terbuka dalam melihat sesuatu dari berbagai perspektif, tetap kreatif dan produktif, serta menerima keadaan diri maupun situasi yang dihadapi. Nantinya, kita akan mampu menemukan sisi positif dari keadaan yang kurang menyenangkan beserta berbagai pilihan yang realistis dan efektif untuk dilakukan.
Seorang psikolog klinis lainnya, Syibbli Zainbrin, memahami self-awareness sebagai konsep kecerdasan emosi. Menurutnya, dalam self-awareness kita tak hanya membicarakan tentang pemahaman diri sendiri, namun juga soal persepsi orang lain dan pengelolaan hubungan sosial, contohnya dalam konsep Johari Window.
Muharini Aulia menekankan pentingnya mindfulness sebagai salah satu kebiasaan baik dalam menumbuhkan self-awareness. Ibarat meletakkan “tas ransel” di meja, mindfulness berarti meletakkan “masa lalu” kita sehingga mampu menikmati setiap momen secara maksimal.
Alih-alih mengosongkan pikiran, Muharini menggambarkan mindfulness sebagai saat-saat kita berada di non-judgemental state. Caranya dengan menjadi penonton bagi diri kita sendiri dan menanyakan what instead of why agar tak terjebak dalam mentalitas victim. Dengan melatih mindfulness, kita akan menjadi orang yang aware.
Kecemasan menjadi hal lain yang perlu diperhatikan di masa pandemi ini. Membludaknya informasi menjadi salah satu sasaran empuk hoax untuk berkembang, inilah pentingnya self-awareness agar kita tak mudah cemas dalam menerima informasi, dan justru bisa memilah mana yang sifatnya kredibel untuk diserap. Beberapa orang yang telah memiliki kecemasan diri, sebaiknya juga membatasi dalam mengakses informasi soal COVID maupun info lainnya yang memperparah gejala tersebut.
Orang tua yang merasa burnout saat harus work from home dan mengurus rumah perlu menjaga koneksi dengan dunia luar, dengan cara terus terhubung dengan kerabat atau teman. Selain itu, mensyukuri bahwa dengan berada di rumah atau menemani anak school from home, kita sebetulnya dapat melihat lebih banyak perkembangan anak secara langsung. Sesekali, lakukan ekoterapi di lingkungan sekitar rumah untuk menyegarkan mata dan perasaan.
Kecemasan soal kapan COVID-19 akan berakhir sebetulnya bisa diantisipasi dengan prinsip bahwa kita hidup dalam world of uncertainty. Pandemi adalah situasi yang sebetulnya hanya menegaskan hal tersebut saja. Untuk itulah, para panelis sepakat bahwa kita perlu pelan-pelan menerima apapun yang kita rasakan, entah positif atau negatif. Setelahnya, niscaya akan lebih mudah untuk memutuskan apa yang dapat kita lakukan dalam situasi tersebut.