Penggunaan media sosial meningkat drastis sejak pandemi. Bila data We Are Social bulan Januari 2020 menyebutkan bahwa secara umum kita menghabiskan 3 jam 26 menit per hari, jumlahnya meroket hingga 10-11 jam di kalangan orang dewasa dan remaja. Di balik pemakaiannya yang masif, terdapat bahaya yang mengintai bila kita tak cukup berhati-hati.
Eukaristianica Theofani atau Nica, seorang psikolog, menyebutkan beberapa alasan mengapa kita tak bisa melepaskan diri dari media sosial. Beberapa di antaranya adalah kurangnya kontrol diri, akses internet yang semakin mudah ditemui, anonimitas tinggi yang membuat kita bebas berekspresi dengan resiko lebih rendah dari interaksi secara langsung, dan adanya kebutuhan untuk mencari dukungan emosional.
Ia menekankan kaitan antara media sosial dan perilaku, bagaimana kita dapat terpengaruh sekaligus mempengaruhi orang lain di dunia maya. Untuk itulah, kita perlu memiliki self control dan kemampuan untuk be present. Sebaiknya, kita bijak dalam memilah konten dan membatasi waktu pemakaian media sosial. Kita juga perlu mengurangi intensitas bermain gadget saat bersama orang lain.
Psikolog Klinisi Dewasa, Zarra Dwi Monica sependapat dengan Nica bahwa pandemi membuat kita melibatkan gadget dalam berbagai aktivitas. Menurut Zarra, bermain media sosial memberikan “reward” emosional dan suntikan percaya diri yang berujung pada kebahagiaan jangka pendek.
Meski begitu, beberapa efek negatif media sosial adalah timbulnya perilaku membandingkan diri dengan kehidupan yang diperlihatkan orang lain. Zarra merekomendasikan pada pengguna medsos untuk memperhatikan frekuensi dan intensitas bermain media sosial.
Bila gejala negatif serupa insecurity sudah muncul, saatnya rehat dan mencari kesibukan lain. Ketika periode rehat, penting juga untuk mengenali diri sendiri misalnya alasan utama bermain media sosial dan apa yang menyebabkan respon negatif muncul.
Adrian Silvanus mengamini pendapat Zarra soal perbandingan. Hal ini juga dialaminya saat awal menjadi content creator. Namun, ia menyiasatinya dengan mengubah perspektif, yakni menjadikan perbandingan tersebut sebagai motivasi dan pembelajaran. Menurut Adrian, isu terbesar bukan terletak pada perilaku membandingkan, namun cara dan standar kita menilai dan menghargai diri kita saat membandingkan diri dengan orang lain.
Salah satu cara yang dipakai Adrian untuk mengurangi pemakaian media sosial adalah mematikan pop-up notification. Ia merasa bahwa pemberitahuan itu akan mendistraksi kita di tengah pekerjaan dan membuat aktivitas kita jadi tak efektif.
Selain insecurity, panelis juga membahas fenomena lain yang diperkuat oleh media sosial, seperti fangirling. Ketiganya sepakat bahwa selama fangirling dilakukan dalam wajar dan mendorong kita menjadi seseorang yang lebih positif, maka tak ada isu yang ditimbulkan.
Zarra dan Nica melihat bahwa quote dari idola kita umumnya menimbulkan semangat dan inspirasi untuk memperbaiki diri. Bahkan, beberapa fans jadi punya kebiasaan baik seperti menabung. Namun, semua perlu dilakukan tanpa mengorbankan kebutuhan diri atau mengganggu orang lain.
Adrian juga melihat bahwa beberapa tontonan termasuk K-Drama sesungguhnya punya value yang bisa dipelajari selama tak dijadikan standar kehidupan yang saklek.
Saat kita merasa perlu melakukan diet atau detox media sosial, disiplin dan konsistensi adalah kuncinya. Menurut Adrian, Zarra, dan Nica, durasi ideal dalam membuka media sosial tak bisa disamaratakan bagi semua orang. Meski begitu, kita dapat mengurangi durasinya secara perlahan dan bertahap, kisaran sekitar 30 menit setiap hari jika rasanya telah berlebihan.
Ajak juga orang di sekitar untuk saling mengingatkan dan menegur agar tetap konsisten. Nica menambahkan pentingnya menetapkan tujuan spesifik dalam membuka media sosial. Sebab, problem yang menumbuhkan adiksi adalah membuka timeline sehingga kita tak bisa berhenti scrolling.