Data ibarat “mata uang” di dunia serba digital. Bahkan, menurut pidato kenegaraan 16 Agustus 2018, data disebut sebagai jenis kekayaan baru bangsa Indonesia yang lebih berharga dari minyak.
Data pribadi yang tampak remeh seperti nama, tanggal lahir, dan alamat dapat disalahgunakan demi keuntungan pihak tak bertanggung jawab. Inilah mengapa keamanan data pribadi menjadi isu penting yang tak bisa dipisahkan seiring bertumbuhnya aktivitas digital.
Kasus kejahatan siber dan penyalahgunaan data pribadi terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang dirangkum Alinea, terjadi lonjakan kasus dari 47 kasus ke 88 kasus pada periode 2017-2018. Sedangkan, di tahun 2019-2020, Bareskrim Polri mendata hingga 140 kasus.
Jenis kasus pencurian data pribadi yang dilaporkan pun bermacam-macam. Mulai dari penipuan, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, hingga mengubah tampilan situs. Bagaimana dengan metodenya? Seperti yang diduga, para hackers juga semakin canggih dan tak terdeteksi dalam melancarkan aksinya.
Akhir-akhir ini kita mengenal modus yang dinamakan social engineering. Menurut Otoritas Jasa Keuangan, social engineering adalah manipulasi psikologis yang dilakukan seseorang dalam mengorek informasi rahasia dan memanfaatkan informasi tersebut untuk kepentingan pihak yang tidak bertanggung jawab.
Setelah memantau dan mengintai target selama beberapa waktu, hacker akan menghubungi target kemudian meyakinkan dan menggiringnya untuk menyampaikan data pribadi yang sifatnya rahasia. Tak jarang, mereka juga mengirimkan tautan pada email korban yang berisi malware untuk mengakses data pribadi.
Sasaran lainnya dari hackers adalah pengguna marketplace atau e-commerce. Kita dapat berkaca pada kasus-kasus kebocoran data yang terungkap dari banyak perusahaan e-commerce beberapa waktu silam. Sejak beberapa tahun terakhir, diperkirakan lebih dari ratusan juta data pribadi di seluruh dunia dibocorkan secara ilegal.
Baru-baru ini, hackers tampak memanfaatkan kelemahan sistem e-commerce untuk menipu penggunanya dengan berpura-pura sebagai pembeli. Menurut praktisi keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, pelaku memanfaatkan kelemahan sistem yang memungkinkan pembeli dan penjual bisa berhubungan langsung.
Pembobolan data pribadi pengguna e-commerce, merupakan ancaman serius yang sangat mempengaruhi kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Keamanan data nasabah, klien, maupun konsumen kini menjadi kebutuhan mutlak bagi seluruh perusahaan. Adanya security breach atau catatan kebocoran akan membahayakan perusahaan karena memberikan dampak negatif seperti rusaknya reputasi perusahaan.
Lantas, apakah keamanan data hanya merupakan tanggung jawab perusahaan? Ternyata, kesadaran individu juga sangat diperlukan. Menurut Bareskrim Polri, kesadaran masyarakat untuk melaporkan kejahatan data pribadi ternyata sangat kecil dibandingkan kejahatan siber lainnya.
Apa yang dapat kita lakukan untuk menjaga data pribadi? Langkah apa yang perlu dipersiapkan bila terjadi kebocoran data pribadi? Upaya apa yang dapat mengoptimalkan cyber security dalam memproteksi data, utamanya yang bersifat sensitif?
Ikuti TECHMInar New Era of Personal Data Protection & Cyber Security in Industry 4.0 yang akan diadakan 19 Januari 2021. Dihadiri oleh Shafiq Pontoh (Chief Strategy Officer Provetic), Muhammad Aldiansyah (Cyber Security Enthusiast), dan Mohamad Endhy Aziz. CISSP (Cyber security Specialist - CSIRT Development at BSSN).
Lakukan pendaftaran lewat QR Code pada poster, dan dapatkan ilmu serta e-certificate tanpa dipungut biaya sama sekali!
Sumber
https://finansial.bisnis.com/read/20200207/90/1198649/ada-modus-pencurian-data-pribadi-social-engineering-apa-itu
https://www.alinea.id/nasional/polri-kejahatan-pencurian-data-pribadi-di-level-bahaya-b1ZQw9vR0
https://tekno.kompas.com/read/2020/10/27/16030047/viral-modus-baru-pencurian-data-pribadi-lewat-marketplace-begini-antisipasinya?page=all
https://republika.co.id/berita/qais309117000/belanja-online-melesat-kasus-pencurian-data-pribadi-naik
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4177191/pencurian-data-pribadi-bikin-ekonomi-digital-rugi