CGI bisa dibilang cukup membantu industri perfilman dan iklan, terutama dalam terbatasnya kondisi shooting tertentu dan masa pandemi. CGI akan membantu mengatasi kendala seperti pencahayaan dan menambah nuansa yang tidak bisa diperoleh melalui proses shooting manual. Inilah sedikit kesimpulan dari TECHMinar “CGI & FIlm Industry: Is it The Perfect Combination?”
Melalui filmnya yang berjudul “Ambu”, Sutradara dan Produser Film Farid Dermawan melihat bagaimana CGI sangat membantu keterbatasan proses shooting yang perlu menyesuaikan aturan budaya setempat. Ambu yang mengangkat kisah roman dengan latar belakang kebudayaan Baduy memiliki tantangan besar. Sebab, shooting hanya bisa dilakukan dari pagi sampai pukul 5 sore dan tim produksi tak boleh memakai lampu selama proses tersebut.
CGI menjadi siasat utama yang diandalkan karena film Ambu banyak mengangkat scene di malam hari. Apalagi, tim produksi benar-benar mengandalkan kekuatan matahari semata sebagai pencahayaan. Saat diminta pindah lokasi karena kaitan tempat shooting awal berkaitan erat dengan leluhur, CGI lagi-lagi menyelamatkan crew Ambu. Lokasi kedua yang sebetulnya tak cukup layak, “disulap” agar kondisinya cukup indah.
Reza Ell Fardian (Film Director & TV Commercial Director) yang telah malang melintang di dunia iklan lebih menyorot evolusi teknologi dalam industri sinema yang berkembang pesat. Proses mengambil gambar yang awalnya mengandalkan proses manual dan kamera film, perlahan bergerak ke arah digitalisasi dan pemanfaatan CGI.
Reza pun menjelaskan perbedaan animasi, CGI, dan special effect. Animasi pada dasarnya adalah menghidupkan atau menggerakkan benda mati agar berkesan “hidup.” Animasi terdiri atas 2D dan 3D (animasi digital yang lebih real). Sementara, teknologi CGI adalah teknologi komputer grafis yang terdiri atas physical realism, photo realism, functional realism dan memiliki berbagai teknik seperti compositing, morphing, rendering, hingga color grading.
CGI dapat diterapkan pada shoot asli yang melibatkan manusia atau benda lain. Contohnya motion capture yakni memanipulasi shoot aktor manusia dengan grafik komputer untuk mendapat efek dan bentuk-bentuk tertentu, yang dicontohkan oleh film Avatar. Sementara, special effects adalah partikel yang direkam secara langsung di set shooting, misalnya ledakan pistol, ledakan gedung, atau adegan mobil terbalik seperti pada film James Bond.
Anta Jundana (Tim @potonganfilm) lebih banyak membahas CGI dari perspektif penontonnya. Menurut Anta, salah satu tantangan sineas film di Indonesia dalam memakai CGI adalah kurangnya support dari penikmat film itu sendiri.
Menurutnya, banyak pembuat film “mencari aman” dengan mengurangi efek-efek CGI karena banyak penonton film cenderung mencemooh dan serta-merta membandingkan efek CGI Indonesia dengan buatan Hollywood. Padahal, jelas-jelas budget dan timeline yang disediakan untuk pengerjaan CGI sangat berbeda.
Hal ini diamini oleh Reza Ell Fardian. Menurutnya, banyak sineas akhirnya menuruti permintaan pasar dan hanya berkutat membuat film bergenre komedi, romansa, dan horor. Sebab, 3 genre itu yang terbukti laris di Indonesia dan digandrungi masyarakat.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, tantangan CGI adalah dari segi budget yang mahal dan kebutuhan waktu yang sangat panjang. Padahal, produksi film memiliki timeline yang padat dan terbatas, sementara pembuatan CGI selama 30 detik saja bisa memakan waktu hingga 1 sampai 1,5 bulan.
Menurut Anta, keindahan CGI dalam film dapat dilihat dari kedetailan karakter (misal lubang-lubang atau rambut halus pada tubuh) hingga pergerakan spesifik seperti pada bagian otot dan rambut. Farid menambahkan bahwa CGI yang ideal harusnya tampak real, alamiah, dan tidak membuat orang merasa canggung atau bertanya-tanya. Sedangkan bagi Reza, lighting, shading, dan compositing pun sangat mempengaruhi penampilan CGI dalam film.
Reza meminimalisir kegagalan-kegagalan dalam proses pembuatan CGI dengan sebuah strategi. Berdasarkan pengalamannya, sedari awal kita perlu menyesuaikan kebutuhan storyboard per scene dengan berbagai portfolio studio animasi. Bisa jadi, adegan A dan B akan digarap oleh studio animasi yang berbeda.
Farid menjelaskan tantangan lain dalam penerapan teknologi CGI yakni memberi arahan pada aktor/aktris di scene yang menggunakan efek CGI. Ia benar-benar mengcasting aktris dan aktor secara teliti dan membangun kemampuan serta mood mereka dari proses reading. Sebab, pada adegan CGI tertentu seperti memegang kunang-kunang akan melibatkan arah pandangan mata, arah terbangnya kunang-kunang, dan arah tangkapan si aktor. Seluruh aspek ini membutuhkan latihan yang tak sebentar.
Ketiga panelis sama-sama meyakini bahwa pemakaian CGI di Indonesia akan berkembang pesat di masa depan. Bagi Farid, perkembangan CGI di Indonesia cukup bisa diacungi jempol. Menurut Reza, kemungkinan ini akan tercapai bila visi perfilman Indonesia makin jelas dan ada dukungan dari pemerintah. Apalagi, dengan banyaknya SDM di Indonesia. Anta juga menambahkan pentingnya support masyarakat terhadap sineas nusantara yang memiliki keberanian untuk memakai efek CGI dalam filmnya.