Perbincangan 5 speakers di TECHMinar Kreen Indonesia bertajuk Digitalisasi Pendidikan menghasilkan satu kesimpulan menarik: belajar online tak sekedar memindahkan proses pendidikan via konektivitas internet.
Lutvianto Pebri dan Ni Putu Ayu Frida yang bergerak di software dan perangkat di Teknologi menjelaskan bahwa sebetulnya ada banyak manfaat yang bisa ditelaah dari digitalisasi pendidikan dan proses belajar online.
Contohnya saja, Lutvianto Pebri yang merupakan CEO Akupintar memberikan solusi permasalahan pendidikan misalnya takut salah jurusan dan ketidakmerataan edukasi melalui platform online ini. Aplikasi ini bersifat end-to-end dan memberikan beragam layanan bagi sekolah, termasuk konseling dan beragam tes secara online yang bisa membantu guru dan murid.
Ni Putu Ayu Frida selaku Account Manager Samsung juga melihat bahwa digitalisasi pendidikan sesungguhnya bisa menciptakan metode belajar yang lebih menarik, membuat alokasi waktu lebih efisien, bahkan mengurangi penggunaan kertas.
Walaupun begitu, tak dapat dipungkiri, masih ada permasalahan yang dihadapi oleh sumber daya manusia yang terlibat dalam proses belajar online dan digitalisasi pendidikan.
Kompleksitas perubahan proses belajar mengajar dialami oleh seluruh pihak yang terlibat. Warih Wijayanti dan Maeya Zee yang merupakan coach menyoroti kegelisahan yang dialami anak dan orang tua selama belajar online. Peran orang tua semakin bertambah, bahkan melebihi posisi guru jika dibandingkan saat anak-anak belajar di sekolah.
Kebanyakan orang tua yang tak siap akhirnya merasa stress dan kesulitan mengelola emosi. Padahal, menurut Warih, perubahan ini tidak bisa serta merta dilakukan, melainkan membutuhkan keseimbangan dari kedua belah pihak.
Ada kemampuan dan kapasitas anak yang perlu dimengerti orang tua selama belajar online. Meski begitu, Maeya menuturkan bahwa harus ada goal yang dicapai dalam melaksanakan aktivitas ini sehingga dalam pelaksanaannya tetap konsisten dan disiplin. Akhirnya, bisa tercapai result yang baik dan membawa perubahan positif.
Warih menyarankan dukungan orang tua dari depan, tengah, dan belakang. Artinya, orang tua perlu memberikan teladan perilaku, berjalan dan mendampingi anak selama proses berlangsung, sekaligus membangun motivasi ketika anak sedang patah semangat.
Untuk itulah perlu ada benang merah yang menyatukan teknologi, sistem informasi, dan sumber daya manusia yang terlibat. Pernyataan ini sejalan dengan pemikiran dari Indra Charismiaji yang berprofesi sebagai pengamat pendidikan. Menurutnya, digitalisasi pendidikan tak dapat dielakkan. Walaupun begitu, perlu ada perubahan dari segi infrastruktur, infostruktur, dan infokultur untuk mencapai digitalisasi pendidikan secara sempurna.
Artinya, selain kesediaan teknologi, sistem dan metode penyampaian informasi serta kultur dalam proses belajar mengajar juga harus diubah. Dari segi pendidik, hal ini dapat dilakukan dengan mengubah mindset dan memahami bahwa mereka adalah digital immigrant yang kecepatan adopsi digitalnya tak bisa menyaingi anak muda (digital native).
Nantinya, tugas pendidik saat belajar online bukan mengajari gadget, namun memantik kreativitas anak sebagai pencipta atau kreator. Pendidik akan memberikan suri tauladan bagi siswanya dengan menunjukkan bahwa mereka tak malu untuk belajar. Mereka juga memposisikan diri tak lagi sebagai sumber informasi, namun fasilitator supaya anak bisa memenuhi kompetensi dasar. Pendidik juga harus bisa memberikan motivasi pada siswa karena perjalanan menjadi kreator akan membutuhkan banyak proses jatuh bangun.
Menurutnya, kedatangan era digital tak lagi bisa ditolak. Tugas masyarakat, termasuk guru dan siswa serta orang tua adalah menjadi penguasa teknologi, bukan pihak yang ketergantungan atau digantikan oleh teknologi.