Tahun 2020 saat kita dipaksa go-online, terjadi suatu perubahan pola transaksi ke arah digital. Seiring dengan menjamurnya fintech dan perusahaan keuangan digital lainnya, less cash semakin membudaya. Namun, elemen edukasi sangat dibutuhkan di sini untuk mencegah timbulnya masyarakat yang konsumtif tanpa literasi keuangan yang cukup. Hal ini terungkap dalam TECHMinar Finovate: Tomorrow Transaction yang diadakan KREEN Indonesia.
Herlin Dwi, Founder Jejualan.com melihat bagaimana perubahan pola konsumen dalam bertransaksi harusnya mampu dimanfaatkan oleh pelaku bisnis. Saat ini, mereka mempertimbangkan keamanan dan kesulitan dalam membawa uang tunai.
Dengan adanya kemudahan pembayaran digital, mereka pun cenderung lebih konsumtif serta sering membagi uangnya di 2 tempat: tunai & non-tunai. Apalagi, banyak yang menganggap cashless sebagai sesuatu yang mudah & hemat waktu.
Pelaku bisnis perlu membangun branding dan pemasaran, mengelola aset digital, serta reputasi dan kredibilitas di tengah era digital ini.
Abdurrahman F. Bajammal, Merchant Acquisition Manager Nicepay Indonesia menyorot bagaimana finovate atau inovasi dalam transaksi telah terjadi sejak tahun 1700 sebelum Masehi melalui kehadiran cek, bilyet, dan giro.
Sampai akhirnya kita sampai pada masa mengemukanya payment getaway. Istilah ini sering disalahpahami dengan payment processor, padahal keduanya berbeda. Payment processor, sebagai contoh bank, adalah pihak yang menyediakan koneksi bagi merchant pada principle. Sementara, payment gateway sepert Nicepay akan menguhubungkan merchant dengan payment processor yang akan menghubungkan merchant pada principle.
Madiasta Sriciasta, Lead Account Management Oy! Indonesia menyorot kesalahan finansial yang membuat banyak UMKM tak berumur panjang. Rupanya, banyak UMKM yang tak mencatat cashflow padahal elemen tersebut sangat penting untuk melihat kondisi usaha. Kehadiran fintech seperti P2P lending dan aggregator dapat menjadi salah satu sarana yang mempermudah UMKM dalam memantau flow keuangan mereka.
Saat ini, edukasi memang masih menjadi tantangan dalam mempopulerkan fintech terutama di kalangan masyarakat yang masih minim akses teknologi. Saat ini, setidaknya masyarakat perlu diajak untuk mengenal dan memakai aplikasi tersebut secara perlahan sehingga dapat merasakan sendiri kemudahannya.
Sebuah fenomena menarik mencuat selama pembahasan soal fintech, yakni “strategi bakar uang” yang banyak dilakukan perusahaan pembayaran digital di Indonesia. Madiasta dan Abdurrahman sama-sama meyakini bahwa hal tersebut sebetulnya merupakan strategi untuk menciptakan pasar yang spesifik dan telah memiliki perhitungan tersendiri. Madiasta menambahkan, strategi tersebut pun telah dilakukan perusahaan besar sekelas Amazon sejak lama.
Abdurrahman menyatakan sebuah PR bagi fintech yang menjalankan strategi ini untuk melakukan inovasi karena suatu saat akan ada saatnya untuk melepas siasat promo yang dilakukan. Hermin menambahkan bahwa ada masanya konsumen akan menyadari apa yang membuatnya memakai suatu aplikasi pembayaran, apakah berdasarkan promo atau kebutuhan?
Mengenai bisnis fintech, Madiasta dan Abdurrahman yang terjun sebagai praktisi melihat bahwa persaingan yang ada sebetulnya sudah cukup padat. Namun, ada celah blue ocean dari segi crowdfunding dengan market yang spesifik, insurance tech, atau solusi yang fokus pada perusahaan atau corporate.
Seiring dengan inovasi cara-cara pembayaran digital dan berbagai sektor fintech, seluruh panelis pun berharap masyarakat dapat memanfaatkan transaksi digital sesuai kebutuhan. Ada kalanya inovasi yang ada bersifat baik dan progresif, ada juga saatnya untuk mengkritisi dan melihat lebih cermat perkembangan teknologi finansial yang terjadi.