Rumah, kantor, maupun jenis hunian lainnya tak lagi sekedar dipandang sebagai hunian. Dengan adanya transformasi digital, arsitektur 4.0 harus mampu memberikan makna, nilai, dan mendukung lifestyle baru penggunanya dalam jangka panjang. Inilah salah satu kesimpulan dari TECHMinar Kreen Indonesia bertajuk “Architecture Transformation in Digital Era” yang diadakan 15 Desember 2020 lalu.
Julia Sieh yang menjabat sebagai Direktur CILIKdesignstudio menyorot dampak pandemi terhadap generasi millennials. Sebagai salah satu kelompok usia klien yang banyak ditemui, hal-hal yang penting bagi millennials ternyata mengalami perubahan sejak wabah COVID-19 menyerang.
Millennials sebagai generasi yang berkomitmen tinggi terhadap karier ternyata memiliki kesadaran tinggi terhadap kesehatan, dampak lingkungan, dan pemakaian smart technology.
Perubahan pun dialami generasi lainnya secara merata. Contohnya dalam hal akses (perubahan fisik saat memasuki bangunan), kenyamanan (penggunaan teknologi dan work-life balance, hingga rutinitas (pilihan lifestyle baru, kebiasaan multitasking dalam satu hari karena harus berada di rumah).
Seluruh perubahan preferensi dan habit ini pun secara otomatis membuat desainer interior dan para arsitektur mengubah rancang desain bangunan berdasarkan konsep arsitektur 4.0 dan kebutuhan pasca-pandemi. Contohnya menambahkan pick up center khusus untuk para ojek online, memasang security check dan health check. Kantor yang sempat dibuat dengan open space kini kembali pada awal mulanya yakni konsep cubicle. Begitu juga dengan restoran yang akan mengurangi okupansi tempat duduk dan memberikan sistem pembatasan setiap grup tamu.
Untuk itulah, Julia menggarisbawahi bahwa desain yang sukses adalah yang mampu memfasilitasi fleksibilitas, adaptasi dengan teknologi dengan adanya transformasi digital, serta privasi dan keamanan semua pengguna.
Yanuar PF, Principal Architect dari AAksen Responsible Architecture, melihat bagaimana desain rancang bangunan terkini harusnya lebih bisa menyelaraskan hubungan manusia dan alam. Sehingga, tak hanya mampu memfasilitasi kegiatan penggunanya, namun juga menggunakan prinsip-prinsip ramah lingkungan dalam konstruksinya kelak.
Ia melihat 3 aspek penting arsitektur pada peradaban masa depan, yakni Programming (mampu memfasilitasi meaningful lifestyle), Tectonic (sifatnya sustainable), dan Atmospheric (bagaimana rumah atau hunian tak dimaknai sebagai bangunan biasa, tapi “sesuatu yang diciptakan sendiri”, misalnya menambahkan sumber pencahayaan, pemasangan lukisan yang healing, atau menambahkan konsep “cafe” dan “gym”).
Narasumber lainnya, Sanders Budiman, seorang freelancer architect, menyorot bagaimana konsep teknologi sangat berkaitan dengan penggunanya. Apakah konsep smart building dan smart home sesuai untuk semua jenis generasi? Semua tergantung pada preferensi pengguna terhadap teknologi.
Secara human sense, bagaimana attraction, behaviour, dan spontaneous dari penggunanya? Sejauh mana mereka bisa bersahabat dengan teknologi atau fasilitas tersebut? Arsitek atau desainer interior pun perlu mempertimbangkan kebutuhan akan social space, personal, dan intimate space.
Julia Sieh menggambarkan tren bangunan 2021 ke depan sebagai desain minimalis dan multifungsional, di mana sebuah ruang dapat dimanfaatkan untuk berbagai fungsi. Sementara, Sanders Budiman melihat bahwa aspek kesehatan dan keamanan masih akan menjadi prioritas hingga beberapa tahun ke depan.
Ketiganya pun memberikan deskripsi tentang rancang bangun instansi kesehatan yang ideal versi mereka. Julia melihat bahwa rumah sakit yang baru dibangun masih berpatok pada konsep lama yang flownya masih berantakan. Orang harus memasuki gedung atau lobi, baru dibagi sesuai kebutuhan. Padahal menurutnya, orang sehat yang hanya berniat check-up perlu dipisahkan dari pasien yang memang telah menjalani rawat inap untuk menghindari kontaminasi.
Menurut Yanuar, standar bangunan yang sering dilalaikan dan diremehkan selama ini seperti pencahayaan dan sirkulasi udara justru perlu menjadi pertimbangan utama sekarang. Yanuar juga menambahkan pentingnya mengubah “image” rumah sakit sebagai tempat yang menyeramkan, dengan menambahkan vibes pusat perbelanjaan atau galeri seperti yang telah umum dilakukan di Jakarta.
Sanders memiliki perspektif yang menyorot hal-hal dasar yakni pemahaman arsitektur terhadap bagian-bagian spesialis dan fasilitas rumah sakit. Selama ini, beberapa penyakit yang mungkin sebetulnya harus dipisahkan masih dijadikan satu, COVID-19 lah yang menyadarkan. Untuk itu, sebelum mengatur rancang ruang, perlu dipahami setiap jenis penyakit dan fasilitas penanganannya.
Tantangan dalam membangun smart building dan smart home adalah menyelaraskan desain lawas atau desain bangunan yang sudah dibuat dengan teknologi terkini. Yanuar dan Sanders sama-sama meyakini bahwa pembangunan smart building dan smart home sebetulnya lebih mudah dilakukan jika bangunan dirancang dari 0, bukan membedah yang sudah ada.