Agility tak bisa diterapkan secara general, karena agility berbasis pada nilai. Pada dasarnya, agility merupakan perpaduan dari fleksibilitas dan stabilitas. Inilah sedikit kesimpulan dari TECHMinar Kreen Indonesia bertajuk “Agility in Workplace.”
Alinne Rosida Djumhana (CEO of Better & Co, ICAgile Authorized Instructor) mencoba merunut sejarah terciptanya konsep agile. Hal ini dimulai dari temuan Frederic Winslow mengenai efisiensi dan standarisasi.
Menurut pengamatan Frederic, ternyata dalam sebuah perusahaan ada banyak tipe pekerja, mulai dari pemikir, eksekutor, pembuat keputusan, maupun orang-orang yang lebih memilih untuk mengikuti keputusan tersebut. Dengan adanya prinsip efisiensi dan standarisasi, tingkat produktivitas kerja, waktu kerja, termasuk kinerja seluruh karyawan jadi lebih jelas dan transparan. Inilah yang mendorong terbentuknya struktur organisasi tradisional.
Seiring dengan perkembangannya, muncul XY Theory dari Douglas McGregor yang menunjukkan pergeseran mindset. Bila awalnya kita termotivasi oleh uang atau rasa takut dan cenderung menghindari tanggung jawab dalam pekerjaan, terjadi perubahan mindset ke arah Y: termotivasi oleh pencapaian, terus menjaga tanggung jawab, loyal, dan berkomitmen dalam menjalankan profesi.
Menurut Alinne, agile mindset berarti memahami value business, mengevaluasi konteks organisasi, terus berusaha produktif, berinovasi, melakukan perbaikan berdasarkan pengambilan keputusan yang berbasis data tanpa mengabaikan sense sebagai manusia beserta kebutuhannya.
Bila ingin menjadi seseorang yang agile dalam pekerjaanya, kita dituntut memiliki growth mindset, mampu self-manage, transparan, mengambil keputusan secara real-time, berada dekat dengan customer dan bertanggung jawab.
Hal paling penting menurut Alinne dalam menciptakan budaya yang agile adalah sistem dan ketetapan yang berbasis team, bukan individual, tak hanya sekedar people managementnya.
Berdasarkan data yang dihimpun Galih Sakitri, MM, MBA (Researcher of People & Organization, Faculty Member at Universitas Prasetiya Mulya), dari 10 skills tahun 2025, seluruhnya membutuhkan agility.
Ia juga melihat bahwa strategi agile memang tak bisa diterapkan secara general karena agile berbentuk nilai dan belum tentu cocok untuk satu sama lain.
Agile sejatinya adalah kombinasi stability dan dynamisme. Tampak bertentangan, lantas bagaimana cara perusahaan mengadopsi keduanya? Perusahaan harus punya aturan main yang jelas namun tak boleh ketinggalan dalam mengadopsi perkembangan zaman.
Galih membedahnya menjadi unsur strategy, structure, process, people, dan technology. Menurutnya, perusahaan harus punya north star of organization alias misi yang dapat membawa mereka tetap kokoh meski menghadapi tantangan dan berbagai perubahan di masa depan. Struktur berupa kohesi dan kekompakan melalui tim-tim kecil juga menjadi sesuatu yang penting. People artinya sangat krusial bagi perusahaan untuk memiliki orang-orang dengan strong mentality yang memahami apa yang ia kerjakan, serta memiliki self-awareness dan inisiatif yang tinggi.
Apa yang dibutuhkan untuk memiliki agility mindset dan behavior? Jadilah seseorang yang proaktif, adaptif, dan generatif.
Ugeng Wijaya (Agile Coach, Ekipa Agile Consultancy) melihat bagaimana agile values memiliki beberapa prinsip yakni memfokuskan pada individu dan interaksi ketimbang proses dan tools, mendahulukan software kerja ketimbang dokumentasi, customer collaboration daripada contract negotiation, dan merespon tantangan ketimbang sekedar mengikuti rencana.
Berkaca dari drama korea Start Up, ia melihat bagaimana masing-masing profesi dalam startup seperti Product Owner, Development Team, dan Scrum Master memiliki skill masing-masing dan sebaiknya dibebaskan untuk menjalankan tanggung jawab masing-masing tanpa ada pertengkaran antar tim.
Meski lekat dengan kelincahan dan kecepatan, Alinne melihat bahwa multitasking sebetulnya bukan cara untuk menjadi agile karena kita justru menumpuk pekerjaan tanpa mengerti kapasitas diri. Agility juga bukan berarti mengorbankan work-life balance.
JIka dikaitkan dengan generalis dan spesialis, akan lebih baik jika kita mengutamakan konteks dan situasi yang kita hadapi. Menurut Ugeng, kata kuncinya adalah adaptif. Bagus bila kita seseorang yang spesialis, namun perkembangan zaman mungkin menuntut kita untuk menjadi generalis di beberapa hal lain.
Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini? Saatnya membangun skill kita di sana. Hal ini juga diamini oleh Alinne bahwa kita sebaiknya tak membatasi hal-hal yang kita pelajari karena kita tak pernah tahu bagaimana peluangnya di masa depan.
Untuk mengubah budaya lawas yang non-agile, memang tak semudah membalik telapak tangan. Alinne dan Galih meyakini bahwa semua perubahan dimulai dari leader dan petinggi seperti stakeholder. Sementara, Ugeng menjadikan kolaborasi, interaksi, dan pola pikir sebagai highlight dalam membangun budaya agile di tempat kerja.