Literasi Media & Hoax in Digital Era: Menjadi Produsen dan Konsumen yang Kritis
Saat ini kita sedang berada di era di mana informasi digital bergerak secara cepat. Untuk itulah kita perlu memiliki literasi media maupun literasi digital, sebab pesan-pesan yang beredar sejatinya telah dikonstruksi berdasarkan tujuan tertentu. Inilah sekelumit pesan yang bisa dikutip dari TECHMinar Literasi Media & Hoax in Digital Era.
Muhammad Bahruddin, S.Sos., M.Med.Kom, (Creative Writer and Media Consultant) melihat bahwa hoax dan fake news digital yang mengemuka di tengah COVID-19 sangat berbahaya. Ia mengulas sedikit bagaimana revolusi industri membawa kita ke era 4.0 di mana data kita bisa dikumpulkan secara masif dan “dibaca” oleh pihak-pihak tertentu.
Ia merekomendasikan pentingnya 8 elemen literasi digital menurut Belshaw untuk diterapkan oleh setiap warga, yakni kultural (memahami konteks pengguna), kognitif (menilai konten), konstruktif (reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual), komunikatif (memahami kinerja jejaring dan komunikasi digital), mempunyai kepercayaan diri, kreatif, kritis dalam menyikapi konten, sekaligus bertanggung jawab.
Menariknya, Bingkassiwi Inhardy (Head of Creative in Browcody Digital Marketing Agency) melihat bahwa orang-orang yang terpapar hoax ternyata sangat beragam. Tak hanya mereka yang belum melek media, namun orang-orang berpendidikan yang terlalu gegabah dalam menanggapi informasi.
Osi menyorot pentingnya memahami bagaimana pesan dikonstruksi. Kita perlu meyakini bahwa semua pesan sengaja dikonstruksi sesuai citra yang ingin dibentuk sehingga otomatis memiliki copywriting menurut aturan mainnya sendiri. Pesan media dikelola untuk meraih keuntungan dan kekuasaan.
Berangkat dari pemikiran tersebut, akhirnya kita yang sehari-hari tak lepas dari media dan gadget akan memiliki awareness dan kemampuan berpikir kritis. Contoh sederhananya yakni menyadari baik tidaknya konten yang kita konsumsi. Osi memberikan saran untuk menanyakan 5W + 1H setiap kali kita menerima sebuah informasi maupun konten digital.
Umumnya, kita termakan hoax karena kebiasaan kita saat menerima informasi. Kita biasanya hanya membaca informasi yang kita suka, padahal aktivitas tersebut membuat kita rentan terhadap bias-bias informasi.
Setelah menyukai suatu informasi, kita biasanya akan merasa relate sehingga menerimanya begitu saja tanpa membandingkan info tersebut dengan sumber lain. Di sinilah pentingnya literasi media yakni keterampilan dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi, membentuk, dan mewujudkan atau melakukan suatu bentuk dari komunikasi.
Perspektif Alma Putri Dhiafira (Penulis dan Pegiat Literasi) mengenai literasi media lebih menyorot tanggung jawab individu dalam bermedia. Menurutnya, sangat penting bagi kita untuk memakai empati dan menjadi pembaca yang pintar. Jangan sampai kita terjerumus pada permainan “bombastis” berita media yang mengeksploitasi hal-hal yang sebetulnya tidak penting. Berhati-hatilah saat menyebarkan konten atau informasi, sebab hal tersebut berpengaruh pada branding dan reputasi kita jika suatu saat kebenarannya dipertanyakan.
Ketiga panelis menyadari pentingnya verifikasi dan background check atas setiap informasi, terlepas dari penyampainya yang memiliki kredibilitas tinggi sekalipun. Kita perlu melihat kesesuaian informasi yang disampaikan dengan expertise atau skill komunikator, bagaimana perilakunya di media, dan bagaimana track recordnya dalam menanggapi suatu isu.
Bahruddin melihat bahayanya menjadi seseorang yang “fanatis” terhadap satu sumber, sekalipun medianya terpercaya. Sebab, media sejatinya memiliki “kebenaran” versi mereka masing-masing.
Ketiga panelis juga menekankan pentingnya “menahan” ibu jari saat mengonsumsi sebuah konten. Bisa jadi, hal yang kita konsumsi sebetulnya adalah settingan, bagian dari upaya branding, atau buzz marketing. Maka, sangat direkomendasikan untuk tarik napas sejenak dan mengelola emosi sebelum merespon konten secara impulsif.
Saat ini, kurikulum literasi media di Indonesia masih sebatas kemampuan praktis, teknis, dan operasional semata. Padahal, menurut Bahruddin, siswa-siswa ini perlu dibekali dengan pemahaman tentang etika dan konteks dalam membuat konten. Kebanyakan dari mereka bertindak sembarangan di media digital karena tak merasa bahwa efeknya sangat signifikan, layaknya berbuat sesuatu di dunia nyata.
Keberadaan literasi media dan literasi digital yang ideal dapat membuat masyarakat Indonesia menjadi konsumen maupun produsen konten digital yang lebih kritis dan bertanggung jawab.