“Follow your passion!” Para pencari kerja, fresh graduate, atau mahasiswa mungkin sering mendengar kata-kata ini dari para motivator.
Sayangnya, realitas sering tak seindah passion yang diimpikan. Seringkali saat kita telah menemukan pekerjaan yang sesuai passion, ada aspek lain yang memaksa kita mempertimbangkan ulang job tersebut. Contohnya saja gaji, tunjangan, shift kerja, hingga potensi kenaikan posisi.
Beberapa orang mungkin punya keistimewaan atau privilege untuk mengejar apapun yang mereka inginkan. Namun, seringnya kita harus bersabar dan memiliki strategi yang tepat dalam memprioritaskan antara passion dan realitas.
Uang dan passion layaknya elemen penting yang tak bisa dipisahkan dan akan selalu bersinggungan dalam karier.
Passion kerja berperan sebagai pembakar semangat, memberikan dorongan dan emosi yang kuat dalam melakukan sesuatu meskipun dihadang tantangan atau hambatan sepanjang prosesnya. Semakin kita menyukai sesuatu, umumnya “keterpaksaan” kita dalam mengerjakan sesuatu juga akan berkurang. Hal ini bisa jadi mempengaruhi prestasi, kemampuan, dan income yang Anda terima.
Tak bisa dipungkiri, uang, insentif, atau benefit juga menjadi hal penting dalam sebuah pekerjaan. Mereka adalah reward nyata atas kerja keras yang telah Anda lakukan dan dapat dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan Anda selanjutnya.
Inilah mengapa keduanya sebaiknya sama-sama dipertimbangkan dalam setiap perjalanan karier. Sebab, kalau hanya mengandalkan passion saja, Anda kurang bisa mengantisipasi hal-hal atau situasi yang tak diinginkan.
Sebagai contoh, ketika Anda mengejar passion di bidang public speaking, namun pandemi menyerang sehingga acara-acara yang mengundang Anda harus ditiadakan. Jika Anda tetap memaksakan diri menjadi MC dan tak mau melirik alternatif lainnya atau berinovasi, Anda akan semakin dirugikan oleh wabah ini.
Survei terbaru Deloutte pada 3000 pegawai penuh waktu di US menyatakan bahwa hanya 20% dari antara mereka yang menyatakan bahwa diri mereka tidak benar-benar passionate melakukan apa yang menjadi pekerjaan mereka. Riset lainnya bahkan menyatakan bahwa kita sebenarnya tidak benar-benar tahu bagaimana cara menemukan passion kita.
Inilah mengapa Jon Jachimowicz, seorang profesor dari Harvard Business School, mengatakan agar kita mengurangi fokus pada apa yang membuat kita merasa bergairah (passionate), dan lebih banyak berfokus pada apa yang benar-benar kita pedulikan (purpose-driven).
Kita sebaiknya fokus pada “mengapa” ketimbang “apa” yang kita lakukan dalam hidup. Mengapa kita hidup? Bagaimana kita dapat berkontribusi pada dunia?
Kita pun tak bisa sekedar mengejar passion karena ada aspek finansial yang membayangi kita setiap tahunnya. Bagaimana kondisi keuangan keluarga? Bagaimana kondisi keuangan pribadi? Apa yang kita lakukan 10 tahun lagi dan mengapa kita melakukannya? Bagaimana cara untuk mencapainya? Sudah pahamkah Anda dengan kelebihan dan kekurangan diri?
Passion kerja seringkali jadi pembatas untuk mengeksplor hal-hal baru di luar jangkauan kita. Beberapa kesempatan karier menarik mungkin telah Anda tolak ketika passion dijadikan satu-satunya pertimbangan utama.
Bagaimana kita sebagai generasi kerja sebaiknya menyikapi perdebatan be passionate vs be realistic ini? Bagaimana menentukan pilihan yang tepat di antara keduanya?
Ikuti TECHMinar Passion VS Profitability: Dilemmatic Problem to Pursue Your Career yang akan dihadiri Untung Subroto (Psikolog), Anisa Farhana Sausan, S.Psi (Chief Business Support Satu Persen), dan Stephanie Wijanarko (Program Director and Co - Founder of Vooya).
Acara ini akan diadakan 14 Januari 2021 pukul 13.30. Daftar sekarang dan ikuti acaranya hingga selesai untuk memperoleh sederet insight menarik dan e-certificate gratis!
Sumber
https://www.finansialku.com/mengejar-karier-antara-passion-dan-realitas/
https://money.kompas.com/read/2020/12/09/154920726/benarkah-passion-kunci-penentu-kesuksesan-karier?page=all
https://satupersen.net/blog/solusi-biar-ngga-galau-milih-karier-pilih-passion-uang