Banyak orang yang tidak sadar tentang dampak climate change. Efek rumah kaca ditambah permasalahan di kala pandemi seperti penimbunan sampah masker adalah contoh kecil yang mungkin kita lewatkan. Padahal, jika kita tidak segera mengadopsi green technology, efek climate change akan semakin ekstrim, bahkan berpotensi mempengaruhi pembangunan nasional. Inilah sekelumit insight dari TECHMinar Green Technology Innovation.
Dr. Dip. Ing. Muhammad Abdul Kholiq, M.Sc (Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT), melihat bahwa beberapa tahun ke depan, climate change akan menimbulkan banyak masalah baru jika tak segera tertangani. BPPT telah melakukan banyak proyek seperti pengolahan air, sampah, monitoring kualitas lingkungan, remediasi kualitas lingkungan, dan cara-cara lain mengurangi emisi CO2 dan melakukan tata kelola lingkungan.
Cara terkecil yang dapat kita lakukan adalah mengurangi, memilah, dan mengelola sampah rumahan. Pengolahan sampah organik di rumah saja ternyata sanggup mengurangi 40-60% dari masalah sampah. Limbah rumahan pun dapat diolah menjadi pupuk kompos.
Maharani D. Permanasari, M.Ds., M.Phil., Ph.D., (Design & Cultural Resource Management), lebih menyorot tanggungjawab kita dalam mendesain produk, terutama bagi para pelaku industri. Pada dasarnya, desain adalah aktivitas yang membutuhkan sumberdaya alam dan saling berkaitan. Maka, sehubungan dengan Sustainable Development Goals 2030 yang menjadi target Indonesia, selain inovasi dan infrastruktur, kita juga dituntut untuk menjalankan responsible consumption dan production.
Maharani menekankan pentingnya memahami bagaimana aktivitas sekecil apapun yang kita lakukan akan memberikan dampak pada lingkungan. Inilah pentingnya mempertimbangkan konsep zero waste dan circular economy, yakni meminimalisir lembah bahkan mengolahnya menjadi produk yang lebih berdaya guna.
Sebab, untuk membangun bisnis yang sustainable, kita perlu menyeimbangkan business ecosystem, people, dan environment. Menerapkan green innovation, kita juga perlu memperkuat kolaborasi, komitmen, serta memahami konsekuensi dari setiap tindakan.
Bisnis semacam inilah yang terus dikembangkan Ikbal Alexander dari Kertabumi Recycling Center. Perusahaan miliknya berusaha mengedukasi masyarakat sekaligus mengajak mereka berwirausaha sosial melalui pengelolaan sampah. Konsep green technology atau teknologi hijau menurut Ikbal tak melulu soal sarana, namun juga bahan baku dan proses yang mengedepankan lingkungan.
Kertabumi Recycling Center pun menerapkan planet, people, dan profit. Produk buatan mereka seperti meja, plakat, hingga sabun cuci piring seluruhnya terbuat dari bahan baku limbah yang selama ini hanya terbuang dan mengotori lingkungan. Sebut saja sikat gigi bekas, minyak jelantah, kantong kresek, dan kemasan aluminium obat.
Ikbal melihat bahwa perusahaan yang tak segera mengadopsi teknologi ramah lingkungan cenderung tertinggal. Sebab, green technology tak lagi merupakan pilihan, melainkan kewajiban. Ia meminta setiap pengusaha merenungkan “mengapa bisnis saya tak lagi berjalan?” Salah satu alasannya adalah kita terlalu sering mengambil dari alam tanpa mengembalikannya lagi.
Di masa pandemi, sampah medis menjadi salah satu isu yang perlu penanganan khusus. Tak sekedar ditimbun atau dibakar, Ikbal dan Dr. Abdul menyarankan penggunaan insinerator karena sifat sampah tersebut yang infectious.
Maharani berulangkali menekankan bahwa untuk mengadopsi teknologi hijau, semua orang hanya perlu melihat ke sekeliling mereka. Dirinya dan Ikbal menyadari bahwa sebetulnya kebiasaan baik bisa dimulai dari hal-hal kecil yang tak terlalu muluk. Tindakan atau kebiasaan kita lah yang akan “berbicara” dan mengadvokasi orang-orang sekitar.
Dr. Abdul mencontohkan metode cleaner production atau meminimalisir limbah yang bisa diterapkan oleh perusahaan di berbagai skala. Nantinya, selain bahan baku lebih hemat, para pengusaha justru bisa lebih fokus ke produk. Efeknya, kita tak lagi membebani alam dan prosesnya lebih efisien. Ikbal juga menambahkan soal kemasan produk ramah lingkungan untuk UMKM seperti organik dan multilayer yang dapat menjadi langkah sederhana untuk memulai green innovation.
Selama ini, selain biaya yang dianggap mahal, culture dan mindset masih menjadi hambatan dalam mengadopsi teknologi hijau. Hal ini tak mengherankan, sebab menurut Maharani, pengelolaan green technology atau alih proses ke teknologi ramah lingkungan butuh banyak effort. Dr. Abdul juga melihat bahwa konsep “ramah lingkungan” masih menjadi prioritas bisnis yang dikesampingkan karena perusahaan akan fokus pada produktivitas komoditi utama.
Salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah regulasi pemerintah dan penanaman awareness. Ini menjadi PR yang harus dikerjakan banyak pihak, sebut Maharani. Walaupun tampak utopis, dengan pertumbuhan awareness secara kolektif, kita bisa mencapai lingkungan yang lebih lestari, sehat, dan nyaman.