University's Major: Hobby vs Parent's Advice, Calon Maba Perlu Komunikasi dan Cari Win-Win Solution

Posted By smartcomputerindo | 05 March 21 | Event

 

Ternyata, 87% orang Indonesia merasa salah jurusan. Banyak yang menyebabkan fenomena ini terjadi, mulai dari faktor emosional hingga keterlibatan orang-orang terdekat. Komunikasi dan win-win solution akhirnya menjadi salah satu cara memilih jurusan kuliah yang tepat bila ada pertentangan dengan orang tua. Inilah kesimpulan dari TECHMinar Kreen Indonesia bertajuk University’s Major: Hobby vs Parent’s Advice.

 

Bagi beberapa orang, memilih jurusan rasanya seperti reality show Sharktank. Kita tak mengetahui apa yang menanti ke depan, sementara kita harus mampu meyakinkan orang-orang di sekitar kita. Ada juga yang menganggap jurusan sekedar “jembatan” untuk mengenyam masa kuliah. Sebagian lainnya memandang jurusan sebagai return of investment alias harapan yang membuka jalan kesuksesan. 

 

Hal ini disampaikan oleh Ilham Dary Athalallah (Community Manager IT SEVIMA & Tenaga Ahli Pewara Set Rektor UNY). Ia kemudian memberikan beberapa saran bagi calon mahasiswa yang hendak memilih jurusan. 

 

Selain memahami kelebihan dan kekurangan diri, carilah ide dan saran yang bertentangan dengan kemauan kita. Tujuannya agar kita bisa lebih objektif dalam menentukan pilihan. Kita juga perlu mempertimbangkan saran orangtua sebagai masukan, jangan membiarkan hobi menjadi satu-satunya patokan.

 

Ilham juga menekankan pentingnya “menantang” hobi dengan bertanya pada orang yang lebih berpengalaman dan mencari sumber-sumber informasi lain. Ia juga menyarankan untuk memilih jurusan yang lebih “general” daripada jurusan yang terlalu “spesifik.”

 

Rizky Dea Tsabitah (Founder #anakbimbingriris & Konsultan SNMPTN, SBMPTN & Mandiri) mencoba memberikan pemaparan tentang alasan terjadinya ketidaksepahaman dengan orang tua. Menurutnya, beberapa faktor penyebab berakar dari generation gap, serta pengetahuan dan akses informasi orang tua yang terbatas. Akibatnya, mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap jurusan pilihan kita.

 

Untuk itu, Rizky menekankan pentingnya mencari data-data lengkap tentang jurusan yang kita pilih, termasuk rencana studi dan plan B jika belum berhasil diterima di jurusan impian. Selanjutnya, bangunlah komunikasi dengan orang tua melalui argumen yang logis dan disampaikan dengan sopan. Hal ini bisa membuat orang tua lebih yakin untuk mempercayai pilihan jurusan kita.

 

Win-win solution akhirnya juga bisa dipertimbangkan. Karena umumnya SBMPTN dan Ujian Mandiri menyediakan beberapa pilihan jurusan, kita bisa memilih sebagian jurusan yang direkomendasikan oleh orangtua.

 

Asa Pertiwi (Data & System Analyst Intern at Schoters, VSM Campus Ambassador at Co-Learn) mengilustrasikan dunia perkuliahan seperti perjalanan di hutan. Ada yang berhasil keluar namun tak menemukan harta karun, ada yang lebih dulu gugur di dalam hutan, ada yang terjebak dan belum keluar hingga sekarang. Senada dengan Rizky dan Ilham, Asa menekankan pentingnya membuat plan kuliah, mencari pengetahuan dan informasi dari berbagai sumber, mengembangkan skill, dan melakukan negosiasi dengan orang tua saat kita merasa bingung memilih jurusan kuliah.

 

Menurut Rizky, sebetulnya tak ada jurusan yang 100% cocok dengan kita. Meski begitu, sebaiknya kita segera memutuskan untuk melanjutkan di jurusan tersebut atau pindah, sebelum kita berada di semester 4. Sebab, semakin lama kita merasa salah jurusan, umumnya kita akan kehilangan untuk mengikuti kuliah maupun kegiatan lainnya (termasuk organisasi).

 

Hal ini diamini oleh Asa, menurutnya, banyak mahasiswa salah jurusan yang pada akhirnya sulit berkonsentrasi, dan pada akhirnya mengalami penurunan nilai dan bisa berujung pada DO alias drop out. Anak tersebut juga berpotensi menarik diri dari lingkungan pergaulan karena merasa minder jika nilainya turun. 

 

Solusi lainnya saat merasa salah jurusan adalah merelakan hal tersebut dan mencari hal lain selain jurusan kuliah yang bisa memuaskan interest kita. Salah satunya dari pengalaman organisasi, volunteer, atau lainnya. Anggaplah hal-hal ini sebagai bekal soft skill kita di masa depan.