Persaingan UMKM Berbasis Digital: Pelaku UMKM Go Digital Harus Fokus Pada Konsumen
Suka tidak suka, sekarang UMKM harus beralih ke digital. Sebab, dengan terjun ke dunia digital bisa berpotensi meningkatkan penjualan seiring dengan banyaknya konsumen yang lebih suka melakukan aktivitas secara online. Kunci utama dalam melakoni UMKM Go Digital adalah menjaga kualitas operasional bisnis dan kepuasan konsumen terlepas dari perubahan yang terjadi. Inilah kesimpulan TECHMinar Kreen Indonesia bertajuk Persaingan UMKM Berbasis Digital.
Muhammad Fahrian (Chief Commercial Officer Haistar Indonesia) melihat bahwa salah satu tantangan yang dialami UMKM setelah terjun ke dunia digital adalah beradaptasi dari proses manual ke sistem yang terintegrasi.
Kebanyakan pemilik UMKM adalah CEO alias Chief of Everything yang melakukan semuanya sendirian. Rata-rata dari mereka mencatat dan mengawal pesanan secara manual melalui software semacam Microsoft Excel. Padahal, seiring dengan naiknya volume order, rasanya tak mungkin untuk memanage operasional bisnis dengan cara semacam ini.
Haistar adalah salah satu platform yang dihadirkan untuk mengatasi permasalahan ini. Berdiri sejak April 2019, Haistar bertujuan membantu pemilik bisnis dalam memperbesar skala bisnis mereka dengan mengeliminasi berbagai hambatan penyimpanan, tenaga kerja, manajemen operasional, penanganan kurir, serta teknologi. Semua dilakukan dalam suatu platform: mulai dari layanan gudang, manajemen pengiriman, pengelolaan penjualan.
Tujuannya, agar pemilik UMKM bisa lebih fokus pada pengembangan bisnis dan mengurangi human error dalam pencatatan transaksi. Beberapa faktor penting UMKM Go Digital adalah product, operation, dan channel. Artinya, selain memahami produk, target & positioning, kita juga harus mengelola siapa tim internal yang akan memproses orderan, store management, operation, inventory, dan channel-channel digital yang akan dipakai untuk berkomunikasi dengan konsumen.
Menurut Fahrian, sangat penting untuk membangun brand identity dan brand reputation. Selain membuat konsumen menjadikan produk kita sebagai top-of-mind, jaga reputasi brand dengan mengutamakan kepuasan dan layanan. Dalam UMKM Go Digital, kita juga perlu melakukan boost marketing serta scale up dengan bantuan digital agency dan influencer yang sesuai dengan karakteristik target audiens brand kita.
Saiful Bachri Dzamil (Sapapreneur Indonesia) yang telah banyak mempertemukan UMKM dengan para pemilik modal melihat bahwa UMKM Go Digital kini menjadi keharusan karena bisa membuka jangkauan pasar yang lebih luas. Apalagi, melihat aktivitas konsumen yakni 82% mencari toko di sekitarnya menggunakan mesin penelusuran, dan banyaknya bisnis yang mengalami peningkatan revenue hingga 80% saat menunjukkan kehadiran mereka secara online.
Dzamil memberikan 3 kunci utama digital marketing yakni produk, traffic, dan konversi. Setelah kita memahami produk, kita sebagai brand harusnya mampu menjelaskannya pada konsumen lewat berbagai konten. Nantinya, akan ada traffic (pengunjung atau penonton yang mengunjungi konten), dan diharapkan beralih pada conversion atau sales. Kuncinya, kita harus bisa eningkatkan kualitas traffic, kualitas website atau landing page, dan copywriting yang digunakan.
Sedikit berbeda dari keduanya, perspektif Valtala Leifyumna Jauza (Koinworks) fokus pada masalah-masalah yang umumnya masih dialami UMKM Indonesia. Beberapa di antaranya adalah gap modal kerja dan gap skill. Sebut saja mindset mereka yang masih terjebak pada zona nyaman (merasa cukup puas dengan pencapaian bisnis), tidak memaksimalkan digital platform, tidak mempunyai aset untuk jadi jaminan pinjaman, kesulitan membangun credit history baik untuk bisnis, dan terbatasnya akses permodalan.
Valtala melihat UMKM masih sering menggabungkan rekening pribadi dan usaha. Begitu juga dengan pencatatannya sehingga menimbulkan kerancuan dalam jalannya usaha.
Abdurrahman Fauzi Bajammal (Merchant Acquisition Manager Nicepay Indonesia) menekankan pentingnya memiliki unique selling point dan branding yang nantinya akan menjadi patokan dalam memilih channel pemasaran yang tepat. Misalnya, baju anak yang lebih banyak dipush di Facebook karena karakteristik media sosial tersebut cocok dengan target audiens yang disasar.
Hal ini diamini oleh Fahrian. Tak cukup lagi memanfaatkan marketplace semata, sebab belum pasti brand kita menjadi top of mind di mata konsumen karena banyaknya seller serupa di sana. Sebisa mungkin, pakai jasa freelance untuk maintain media sosial dan website milik sendiri setelah kita menentukan ciri khas visual yang diinginkan. Kuncinya adalah manajemen waktu dan konsistensi.
Fahrian menambahkan pentingnya mengelola testimonial, review, dan rating. Sebab, kini hasil pencarian online dan media sosial menjadi pertimbangan utama konsumen dalam memilih produk. Influencer juga berpotensi meyakinkan konsumen melalui endorsement video, namun pada dasarnya semua upaya ini memang membutuhkan trial dan error terlebih dahulu.
Abdurahman menyarankan untuk menggabungkan metode online dan offline dalam sebuah bisnis. Kita bisa membagikan informasi tentang produk kita secara online, namun ada kasus-kasus di mana mereka bisa berkomunikasi langsung dengan customer service.