Alasan Mengapa Bisnis Perlu Memperkuat Praktik Eco-Friendly
Menurut hasil wawancara Detikcom dengan Duta Besar RI untuk RRC Djauhari Oratmangun, eco-friendly product alias produk ramah lingkungan bakal melejit pasca-pandemi. Inilah sederet alasan lain mengapa bisnis sebaiknya memperkuat branding ramah lingkungan atau beralih sepenuhnya pada implementasi green technology.
Perubahan Pola Konsumsi Energi
Nathalia Rosa/Unsplash
Selama beberapa bulan tinggal dan bekerja dari rumah, tampaknya banyak masyarakat kian mensyukuri langit biru yang bebas dari polusi.
Lembaga riset Inventure Indonesia meneliti bagaimana pandemi COVID-19 mengubah tren konsumsi energi masyarakat. Di masa depan, mereka dipercaya akan lebih efisien dalam mengeksploitasi hasil bumi.
Menurut riset lain berjudul Industry Megashift 2021 After Pandemic, pandemi menjadi momentum yang meningkatkan kesadaran dan rasa bijak masyarakat dalam mengonsumsi hasil bumi. Wabah COVID-19 meningkatkan awareness bahwa faktor lingkungan sesungguhnya berada di luar kontrol manusia.
Perusahaan Konsultan & Manajemen, McKinsey melihat bahwa sebanyak 50 persen masyarakat akan lebih banyak berinvestasi pada produk yang menciptakan efisiensi energi di masa setelah pandemi.
Mereka akan condong pada produk yang mengusung sumber energi bersih atau terbarukan nan ramah lingkungan. Konsumen cenderung punya preferensi besar terhadap produk renewable maupun produk daur ulang. Konsumen semakin konsen terhadap keberlangsungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Hal ini dibuktikan oleh survei global US Cotton Trust Protocol yang mencatat sebanyak 54 persen pemimpin perusahaan brand garmen tekstil menerima tuntutan dari konsumennya untuk menerapkan praktik dan produk ramah lingkungan sejak awal pandemi COVID-19. Tak hanya itu, perusahaan kendaraan seperti Hyundai juga telah membuat terobosan ramah lingkungan seperti Advance Driving Assist System Hyundai Kona EV.
Investasi Masa Depan & Penghematan Biaya Bulanan
Noah Buscher/Unsplash
Ternyata, pemanfaatan teknologi ramah lingkungan justru berhasil menjadi penyelamat bisnis kala krisis akibat COVID-19.
Sejak pandemi menyerang, bisnis pariwisata di Indonesia terkena dampak yang cukup parah, bahkan di daerah prioritas dan populer seperti Bali. Melansir Mongabay, tiap bulan Bali mengalami kerugian rata-rata Rp9,7 triliun setiap bulannya dari sektor pariwisata.
Meski tak menerima penghasilan akibat berkurangnya tamu, beberapa pemilik penginapan masih harus menanggung biaya listrik dengan kisaran Rp 2 juta per bulannya. Perlu menjadi catatan bahwa penginapan di Nusa Lembongan diwajibkan memiliki barang elektronik seperti AC, mesin kolam renang, hingga lemari pendingin.
Banyak pemilik yang memilih meninggalkan villa tanpa menyalakan barang elektronik tersebut. Di sisi lain, seluruh perangkat tersebut akan rusak jika dibiarkan terlalu lama tanpa aliran listrik.
Teknologi ramah lingkungan akhirnya dijadikan siasat untuk bertahan tanpa pengeluaran bulanan. Sejumlah pemilik penginapan memasang pembangkit listrik tenaga surya atap atau solar panel. Bagi pengusaha dengan keuangan sangat terbatas, Bali kini juga menyediakan skema kredit energi dengan cicilan melalui koperasi Amoghasiddhi.
Perusahaan yang menerapkan SDG (Sustainable Development Goals) dalam produknya bakal mengalami penurunan biaya produksi. Pasalnya, prinsip SDGs memang mengedepankan energi terbarukan yang lebih ramah terhadap lingkungan. Hal ini akan berefek positif dalam energy savings dan water managements yang berhubungan erat dengan penurunan dari segi biaya jangka panjang.
Meningkatkan Reputasi Usaha
Toa Heftiba/Unsplash
Tak hanya perusahaan berskala besar yang berlomba-lomba mengusung praktik eco-friendly, UMKM ternyata punya komitmen ramah lingkungan yang tak boleh diremehkan.
Menurut hasil studi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada terhadap 1.073 responden UMKM, mereka tetap berusaha menjalankan upaya bisnis berkelanjutan di tengah krisis. Para UMKM ini berusaha menghemat konsumsi energi dalam kegiatan operasional.
Ternyata, dengan menerapkan prinsip ramah lingkungan, reputasi usaha dirasa sangat meningkat. Itulah sebabnya mereka berusaha keras menerapkan praktik hijau kecuali aktivitas yang memerlukan biaya investasi besar. Responden penelitian ini pun sangat berhasrat untuk memiliki izin lingkungan.
Peluang Pendanaan Terbuka Lebar
Armin Rimoldi/Unsplash
Di sektor bisnis rintisan hijau, ada investor yang fokus pada investasi ke perusahaan rintisan yang mendukung green economy dan turut memberikan solusi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Hal ini makin didukung oleh kesadaran akan lingkungan yang mulai tumbuh selama pandemi dan adanya dorongan pembangunan lestari yang akan menunjang pertumbuhan perusahaan rintisan di sektor ini ke depannya.
Meski begitu, untuk menarik minat investor, pendiri usaha ramah lingkungan memerlukan inovasi lebih, misalnya mengkombinasikan beberapa jenis energi ramah lingkungan.
Contohnya Sinari yang memanfaatkan energi berbasis panel surya dengan sektor agrikultur untuk para pertani di Sumba Timur, Ende, dan Alor, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya adalah meningkatkan nilai tambah produk sehingga petani tak lagi menjual produk gelondongan, melainkan produk olahan.
Usaha lainnya untuk menarik investor adalah berkolaborasi dengan sektor lain seperti perusahaan rintisan di bidang teknologi pendidikan.
Selain meningkatkan citra perusahaan, eco-friendly products seperti renewable products juga berpeluang menjadi valuable point di mata investor. Sebab, itu berarti perusahaan tidak hanya fokus pada profit tapi fokus juga dalam pengembangan aspek SDGs. Apalagi, saat ini pemain start up maupun bisnis rintisan di sektor ramah lingkungan masih terbilang sedikit sehingga persaingannya belum sepadat bidang lainnya.
Sumber
https://www.mongabay.co.id/2020/12/04/pandemi-waktunya-beralih-ke-energi-ramah-lingkungan/
https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/162024/berkah-pandemi-startup-ramah-lingkungan